Sabtu, 22 Mei 2010

kasus autisme

Peter minun susu dengan bersemangat, duduk dan berjalan pada usia yang sesuai. Namun sebagian perilakunya merasa membuat kami tidak nyaman, Ia tidak pernah memasukkan apapun kedalam mulutnya,. Tidak jarinya, tidak mainannya, tidak apapun juga…

Lebih mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa Peter tidak memandang kami, atau tersenyum dan Ikut dalam permainan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masa bayi seperti halnya popok. Ia jarang tertawa, dan jika Ia melakukannya, Itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak lucu bagi kami. Ia tidak suka memeluk, tetapi duduk tegak dipangkuan saya. Bahkan ketika saya mengayunnya. Tetapi setiap anak beda dan kami senang membiarkan peter menjadi dirinya sendiri. Kami pikit merupakan hal yang lucu ketika saudara laki-laki saya berkunjung ketika Peter berusia 8 bulan., dan Ia mengatakan “Anak ini tidak memiliki insting social sama sekali.” Walaupun Peter anak pertama, Ia tidak terisolasi. Saya sering menaruh tempat bermainnya di depan rumah dimana anak-anak sekolah akan berhenti dan bermain dengannya saat mereka melewati rumah. Ia tidak mengacuhkan mereka juga.

Kitty, anak yang berkarakter, yang lahir 2 tahun kemudian, responsivitasnya menekankan adanya perbedaan pada Peter. Bila saya pergi ke kamar Kitty untuk menyusuinya pada Malam hari, kepala kecilnya akan menyembul dan Ia menyapa saya dengan senyum dari kepala hingga kakinya. Dan kesadaran akan perbedaan itu membuatku merasa beku, lebih dari kamar yang dingin.

Ocehan Peter tidak berubah menjadi bahasa sampai usianya mencapai 3 tahun. Ia bermain secara soliter dan repetitive. Ia merobek kertas menjadi bagian-bagian tiis yang jumlahnya berkeranjang-keranjang setiap harinya. Ia memutar tutup toples dan menjadi kesal ketika kami mencoba mengalihkannya. Hanya kadang-kadang saja saya mendapat kontak matanya, tetapi kemudian saya melihat fokusnya berubah dari mata saya menuju bayangan pada kacamata saya.

Petualangan Peter dilinkungan tetangga pinggiran kota kami tidak menggembirakan. Dia tidak mengikui aturan-aturan umum bahwa pasir harus dimainkan dikotak pasir, dan anak-anak memberi hukuman padanya. Ia tampak seperti sosok yang sedih dan sendirian, selalu membawa mainan kapal terbang yang tidak pernah dimainkannya. Pada saat itu, saya belum mendengar kata yang mendominasi pada kehidupan kami, yang selalu diucapkan pada percakapan, dan yang duduk bersama pada setiap acara makan. Kata itu Autisme.

sumber : http://miemydufanaddict.blogspot.com/2010/05/kasus-autis.html

kasus ADHD

Rida berusia 7 tahun. Saat ini dia duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Orang tuanya seringkali mendapatkan masukan dan laporan dari gurunya bahwa dia seringkali jalan-jalan di kelas. Rida lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada pekerjaan sekolahnya.

Orang tuanya pun mengakui bahwa di rumah pun Rida seperti itu. Seringkali Rida berganti-ganti aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain bongkar pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih pada permainan yang lain.

Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi prestasinya di sekolah. Rida seringkali sulit dikontrol. Dia sering mengabaikan apa yang Mamanya perintahkan.

Kasus yang dialami Rida hanyalah salah satu kasus yang terjadi pada anak-anak lainnya. Kadangkala sebagai orang dewasa, jika kita memperhatikan seorang anak yang berganti-ganti aktivitas, kita memiliki asumsi bahwa anak itu mengalami kebosanan.

Namun, perlu diperhatikan lebih seksama lagi, apakah anak itu memang bosan atau ada hal lain yang terjadi padanya. Ketidakmampuan anak untuk menaruh perhatian terhadap berbagai aktivitas tentunya dapat menghambat perkembangan akademik dan perkembangan sosial anak.

Hal ini dapat terjadi karena dia tidak dapat menyelesaikan tugas dengan penuh perhatian dan proses belajar yang terganggu. Oleh sebab itu sangat penting jika orang tua maupun pendidik dapat melakukan deteksi atau mengetahui lebih awal yang terjadi pada anak sehingga dapat dilakukan penanganan dengan tepat.

Pada kasus Rida dan yang akan kita bicarakan lebih jauh merupakan sebuah ilustrasi mengenai Gangguan Pemusatan Perhatian atau Attention Deficit/ Hiperactivity (ADHD).

sumber: http://novira08.wordpress.com/2010/05/09/kasus-adhd/

kasus autisme

Nia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis. Tapi apa daya, ia pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup layaknya anak normal.

Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas.

“Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu,” kenang Nia perempuan berdarah Sunda itu.

Cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas sebelumnya dianggap Nia dan keluarga hanyalah masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Dan mereka yakin, Kevin pasti bisa berbicara layaknya anak normal seiring dengan pertumbuhan usianya nanti. Dan Kevin pun sempat mengikuti sekolah playgroup dengan sesama anak normal lainnya.

Namun hingga enam bulan kemudian, anggapan itu tenyata keliru. Kevin belum menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu.

Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke Bandung. Dokter pertama yang ditemuinya adalah dr Dadang Sharief (spesialias anak) yang mengatakan, Kevin mengalami masalah (gangguan) pada pencernaan.

Dugaan-dugaan diagnosa yang belum jelas tentang kelainan yang terjadi pada Kevin sempat membuat Nia bingung. Hingga akhirnya atas rujukan dr Dadang Syarif sendiri, Nia pun bertemu dengan dr Meli Budiman (Ketua Yayasan Autis Indonesia).

Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. “Dokter langsung tahu setelah memeriksa tingkah laku Kevin,” jelas Nia. Dan menyarankan agar Kevin menjalani terapi rutin.

Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah biaya. “Terus terang saya akui, sebagai orang tua yang masih muda, waktu itu kami masih belum mapan secara finansial dan pengalaman,” kata Nia.

Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa Kevin.

Meski demikian, Nia dan suami tidak menyerah. “Saya dan ayah Kevin berusaha berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari pihak keluarga dengan usia yang masih muda, dengan keadaan yang belum mapan,” kata Nia.

Dengan keterbatasan itu, Nia pun merawat Kevin sendirian. “Selama satu tahun Kevin kami rawat di rumah, tanpa bimbingan medis,” katanya. Ibu muda ini hanya merawat anaknya dengan mengandalkan buku-buku dan video.

Hingga pada tahun berikutnya, Nia dan suami yang bekerja sebagai pegawai swasta, memutuskan agar Kevin kembali mengikuti terapi dan pendidikan di Yayasan YAKARI, yayasan khusus untuk penanganan bagi anak penderita autis di Kota Medan.

Meski demikian, tak banyak harapan Nia pada Kevin. Harapan yang hampir sama bagi ibu yang juga memiliki anak penderita autis, yang juga terjadi bagi Mama Yudha misalnya; juga orang tua lain yang menghadapi kondisi yang sama.

Harapan yang sangat sederhana sebenarnya. “Bisa mandiri saja sudah cukup,” pinta Nia. Kenyataanya, hingga kini Kevin masih kesulitan untuk makan sendiri, buang air kecil (besar) sendiri. Yang jelas, semuanya masih mengharapkan uluran tangan orang lain, meskipun untuk melakukan hal semudah apapun.

Semakin Sayang Karena Autis

Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya.

Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. “Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi setiap orangtua yang memiliki anak autis,” jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia lakukan.

“Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan,” katanya.

Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur.

“Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua lain,” tambahnya.

Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal.

Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak.

“Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang tua yang memiliki anak pengidap autis,” katanya dengan raut wajah sedih.

Pengalaman itu sekaligus membuat ia semakin sayang kepada Kevin. “Saya dan suami akan merawatnya semampu kami. Apa pun akan kami lakukan demi Kevin. Sebab inilah tanggungjawab kami sebagai orangtua.” Tak terasa matanya tampak basah memerah.

Orangtua, Terapis Autis Sesungguhnya

Apakah autis bisa disembuhkan? Semua orangtua seperti Nia pasti mengharapkan jawaban yang sama, yaitu: ya. Ini pulalah yang menjadi dasar keyakinan mereka sehingga berbagai upaya pun mereka tempuh.

Penanganan autis sejauh ini dilakukan dengan terapi, seperti terapi perilaku, wicara dan sensori (okupasi). Upaya lain adalah mencari gangguan metabolisme yang mungkin menjadi menjadi faktor pencetus gejala autis. Dilakukan melalui serangkaian pemeriksaan darah, faecus, urine dan rambut (terapi biomedis).

Inilah upaya yang juga dilakukan YAKARI sejauh ini. Namun Arief Budi Santoso, konsultan pendidikan di yayasan itu mengatakan, berhasil tidaknya upaya itu tak lepas dari peran orangtua sendiri. Sebab orangtualah orang yang terdekat dengan anaknya.

Arief menjelaskan contoh kasus yang pernah dialami Catherine Maurice, seorang ibu yang memiliki tiga anak yang sama-sama mengidap autis. Seorang ibu yang terbilang berhasil hingga bukunya (“Let Me Hear Your Voice”), banyak menjadi acuan terapi bagi seluruh orangtua yang memiliki anak autis di seluruh dunia. “Catherine telah membuktikannya, “jelas Arief.

Penyebab autis

Sejauh ini penyebab autis dipastikan terjadi karena faktor genetik. Namun meskipun anak membawa predisposisi genetik, bila tidak ada faktor pencetus dari luar, diperkirakan gejala autis tidak timbul.

Selain itu adalah faktor pencetus sebelum kelahiran, seperti keracunan logam berat, terkena infeksi virus rubella, CMV, toxoplasma, jamur. Juga dikarenakan ibu memakan obat-obatan keras terutama pada saat trimester pertama masa kehamilan. Hal ini bisa mengganggu struktur susunan syaraf pusat janin sehingga anak akan menunjukkan gejala autis sejak akhir.

Autis juga muncul akibat faktor pencetus setelah kelahiran. Hal ini bisa disebabkan oleh terjadinya infeksi virus, jamur atau bakteri, terutama dalam usus. Adanya gangguan pencernaan yang menyebabkan berbagai macam alergi makanan, keracunan logam berat, seperti pB, Hg, As, dan Sb. Akibatnya, terjadi gangguan kekebalan tubuh (imunodefisiensi) sehingga anak sering sakit.

Juga diakibatkan banyaknya exorphin (casomorphin dan gliadorphin) yaitu protein yang berasal dari casein (susu sapi) dan gluten (tepung terigu) yang tidak dapat dicerna anak. Sehingga memberikan efek seperti morphin. Untuk diketahui, fungsi otak yang dipengaruhi morphin adalah bidang prilaku, perhatian, kecerdasan dan emosi.

Bila hal ini terjadi, maka munculah apa yang disebut autis regresif. Gejalanya bermacam-macam. Ketika anak sudah sempat berkembang normal, tapi kemudian terjadi kemunduran pada umur 18-24 bulan. Bahkan, perkembangannya bisa terhenti.

Gejala lain adalah, apa yang telah dipelajari dan dikuasai si anak menghilang perlahan-lahan. Misalnya, anak sudah mampu berbicara, tapi kemudian kemampuan bicara itu hilang disertai dengan munculnya gejala-gejala autis. Gejala ini terlihat dari prilakunya yang tidak normal.

sumber : http://tonggo.wordpress.com/2007/08/30/anakku-mengidap-autis/

kasus down sindrome

Munculnya kabar tentang hidupnya kembali anak muda bernama Salim di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, mengundang perhatian warga. Salim, yang wafat pada September 2008 saat berumur 18 tahun, tiba-tiba muncul di rumah kontrakan salah satu kerabatnya dan dipercaya warga bahwa dia hidup kembali.

Anak yang muncul tiba-tiba itu memang memiliki ciri fisik yang sama dengan Salim asli, anak pasangan Bunyamin (70) dan Kaswina (60). Anak itu mengalami keterbelakangan fisik dan mental atau lebih dikenal dengan istilah down syndrome (DS).

Menanggapi kasus ini, Kepala Sekolah SLB Al Gaffar Guchany, Teten Trisyatun, menyatakan, pihak keluarga mungkin saja memercayai anak tersebut sebagai Salim karena melihat ciri fisiknya yang sama.

Menurut Teten, penderita DS cenderung memiliki ciri fisik yang sama, seperti badan yang relatif pendek, wajah yang menyerupai orang mongolia, dan ciri-ciri khas lain.

“Sering disebut dengan mongoloid. Penderita down syndrome juga biasa dibilang wajah sedunia karena hampir sama di seluruh dunia,” ucap Teten di kantornya di Pondok Gede, Bekasi, kepada Kompas.com, Sabtu (29/1/2010).

Teten yang telah mendidik anak penderita down syndrome sekitar 20 tahun itu menjelaskan, ciri khas mongoloid adalah pada bagian wajah tampak hidung yang datar, mulut yang mengecil, lidah yang menonjol keluar, dan mata sipit.

Pada tubuh lain, tangan lebih pendek, serta jarak antarjari, baik pada tangan maupun kaki, melebar, dan ciri-ciri lain. “Saat ini saya mendidik lima anak down syndrome, mukanya sama semua,” ucapnya.

Meskipun anak down syndrome memiliki ciri fisik yang relatif sama, katanya, mereka tetap memiliki perbedaan fisik antara satu dan yang lain, seperti tinggi badan dan warna kulit. “Di wajah pasti ada ciri khusus yang saling membedakan antarmereka yang pasti dikenali orangtua,” kata Teten.

Ketika ditanya mengapa sikap anak yang mirip Salim itu sangat akrab dengan keluarga Salim meskipun tidak mengenal sebelumnya, ia menjawab, hal itu wajar. Penderita down syndrome, tutur Teten, cenderung memiliki sikap ramah, cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.

“Mereka itu cenderung periang, cepat membaur, ramah sama siapa pun, termasuk kepada orang asing. Dia akan menganggap orang yang tidak dikenalnya seperti orangtuanya sendiri jika orang itu memberi rasa aman kepadanya,” paparnya.

“Tapi, setiap anak tetap memiliki sikap yang khusus yang dapat dikenali orangtuanya,” tambah Teten.

Bagaimana dengan pengakuan orangtua Salim bahwa anak yang mirip Salim itu datang secara tiba-tiba ke rumah keluarga Bunyamin, ayah Salim? “Kalau memang benar datang sendiri, saya juga bingung. Mungkin lebih baik ke pendekatan agama. Orangtuanya kan tahu Salim sudah meninggal,” jawabnya.

“Yang jelas, kalau orangtua itu mau merawat anak tersebut seperti anaknya sendiri, itu sangat mulia. Jangan dieksploitasi, misalnya banyak orang datang ke rumahnya terus dimintai uang,” ujar Teten.

sumber : http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=6865692255623870570

Amy Wolfe menikahi sebuah wahana permainan

Amy Wolfe merupakan penderita sindrom gejala autis yang tergolong jenius atau asperger. Wanita berusia 32 tahun ini menaruh hati pada benda-benda mati, satu di antanya sandaran tangga. Wanita asal New York, Amerika Serikat, ini mengaku mempunyai kekasih utama yakni sebuah wahana permainan di Knoebels, Pennsylvania.

Amy dan kereta terbang ajaib 1001 Nacht telah 'berpacaran' sekitar 10 tahun. Wanita berambut cepak ini bahkan memasang foto Nacht di atap kamarnya. Ia juga membawa baut dan sekrup Nacht sehingga Amy merasa dekat dengan 'sang kekasih. Meski demikian, Amy tak pernah cemburu ketika banyak orang yang menikmati Nacht
sumber : http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/05/01/16715/Pernikahan-Aneh-yang-Mencengangkan/882

kasus INDIGO

Satrio Wibowo (15) bisa dikatakan penulis muda yang super-istimewa. Novel pertamanya yang berjudul The Chronicles of Willy Flarkies diterbitkan setelah Satrio sepakat untuk mengizinkan novel perdananya yang ditulis dalam bahasa Inggris itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Satrio sama sekali tidak pernah les bahasa Inggris, bergaul dengan orang asing, ataupun hidup di luar negeri. Keluarganya pun tidak berbicara bahasa Inggris di rumah.

Tetapi, remaja yang lahir di Serang pada 24 November 1994 itu menulis novelnya dalam bahasa Inggris sebanyak 400 halaman. Novel fantasi itu dibuat Satrio saat berusia 12 tahun.

Novel The Chronicles of Willy Flarkies berkisah tentang petualangan seorang remaja yang menemukan dunia lain dengan dimensi kehidupan berbeda dan teknologi yang sangat futuristik, namun ramah lingkungan. Kisah dalam novel itu dikemas dalam berbagai sensasi rasa, mulai dari kocak, sedih, thriller, dan misteri.

Di novel yang mengisahkan remaja pria bernama Willy Flarkies yang berstatus pelajar SMP, Bowo banyak menyisipkan pesan moral dan filosofi hidup yang mengulas tentang relasi orang tua-anak, bahaya radiasi, pelestarian lingkungan, kritik pada sistem pendidikan, hingga makna persahabatan.

Satrio yang hadir dalam peringatan Hari Buku Sedunia di Pasar Festival Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, dirinya senang berimajinasi. Satrio suka membaca buku karena bisa membawa imajinasinya keluar secara bebas.

Awal mula menjadi penulis, Satrio mengatakan, karena didorong ibunya, Yeni Sahnaz. Saat kecil, Satrio sering sakit-sakitan tanpa diketahui secara pasti penyakitnya.

Ibunya berpikir jika Satrio bisa mengeluarkan perasaan atau pikirannya lewat tulisan, Satrio tidak akan sakit-sakitan. Ternyata, cara itu ampuh dan sangat disukai Satrio.

Satrio pun bersemangat untuk menulis buku yang sesuai imajinasinya. Satrio yang sejak usia 4 tahun secara menakjubkan bisa berbicara bahasa Inggris itu selalu menulis dalam bahasa Inggris. "Lebih bisa berekspresi," ujarnya singkat.

"Waktu ketemu penerbit agak kesulitan karena novelnya dalam bahasa Inggris, harus diterjemahkan lagi. Awalnya Satrio tetap bersikukuh novelnya terbit dalam bahasa Inggris. Soalnya dia mau go international. Tetapi akhirnya dia mengizinkan novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia," kisah Yeni.

Yeni mengatakan, ada beberapa bakat istimewa dalam diri anak bungsunya itu. Satrio sejak kecil mampu mengoperasikan komputer dengan baik. Dia juga jago melukis dan sebentar lagi bakal diajak berpameran. Satrio pun hobi menulis puisi.

"Semuanya otodidak, enggak ada yang ngajarin. Mungkin bakat itu karena dia indigo," kata Yeni.

Tidak mudah

Meskipun Satrio punya banyak keistimewaan yang mencengangkan, kenyataan itu tidak berarti hidup Satrio mudah. Pelajar SMPN 5 Bogor itu justru sering menghadapi masalah, mulai dari diolok-olok temannya sebagai anak aneh hingga dinilai bodoh oleh guru di sekolah.

Yeni mengisahkan, dirinya kerap dipanggil pihak sekolah sejak TK hingga SMP karena kemampuan akademik Satrio yang dinilai tidak memuaskan. Kerap kali Satrio dianggap tidak layak untuk naik kelas.

Pengalaman di sekolah yang sering kali tak menyenangkan bagi Satrio membuatnya kritis terhadap sistem pendidikan nasional. Satrio berhasil membuat testimoni mengenai pandangannya terhadap sistem pendidikan Indonesia saat didapuk menjadi salah satu pembicara. Namun, tulisannya itu batal dipresentasikan.

Dari testimoni yang diberi judul My Testimony (lagi-lagi Satrio menulis dalam bahasa Inggris), Satrio menggambarkan hidupnya sangat menyedihkan. Dia selalu dapat ranking terendah di kelasnya. Tidak seorang pun mau mengakui kelebihannya di bidang lain hanya karena dia tidak bisa mendapat nilai-nilai bagus dalam pelajaran di kelas.

Penolakan-penolakan yang berkaitan dengan bakat istimewa Satrio juga sempat membuatnya kecewa. Novelnya, yang ditulis dalam bahasa Inggris, pada awalnya tidak dilirik penerbit besar. Alasannya, penerbit tidak tertarik menerbitkan novel berbahasa Inggris di Indonesia alias bakal tidak laku di pasaran.

Satrio juga menawarkan lukisan-lukisannya pada galeri, tetapi ditolak. Kali ini alasannya Satrio terlalu muda.

"Huh, di Indonesia hanya peduli tentang pendidikan. Mereka tidak menghargai seseorang seperti saya hanya karena mereka ingin semua anak Indonesia harus bersekolah. Apalagi, ada sekolah bertaraf internasional hanya mau anak yang punya ranking bagus. Soal kreativitas diabaikan. Dalam pandangan mereka itu sudah super, tapi sebaliknya saya bilang superbodoh," ujar Satrio dengan nada tinggi.

Belajar di sekolah reguler yang dijalani Satrio dinilai menyiksa. Lazimnya sekolah secara umum, pihak sekolah menerapkan aturan-aturan yang membatasi dan ingin siswa itu sama jago di Matematika dan sains. Pengajaran guru di sekolah benar-benar tidak membuat siswa bisa menjadi diri sendiri.

"Suatu hari nanti, saya mau membuat sekolah yang 25 persen teori dan 75 persen praktik yang menghargai kreativitas," ujar Satrio mengenai impiannya soal pendidikan.

Satrio menerima kondisi dirinya sebagai anak indigo yang berpikir dengan cara yang tidak lazim. Satrio ingin seperti fisikawan kesohor Albert Einstein yang dengan percaya diri mengatakan, "It's not that I'm genius, but I stay with problems longer".

Satrio menyesalkan jika orang-orang berpikir hanya ilmuwan yang pintar dan bisa membawa perubahan dunia. Dalam pandangannya, imajinasi seorang anak juga perlu dibiarkan berkembang, terutama untuk anak indigo yang punya imajinasi tidak terbatas. Bukan justru dikatakan bodoh dan aneh.

Sang ibu Yeni memahami kehidupan Satrio yang imajinatif itu justru dipandang aneh dan dicibirkan. Tetapi, Yeni terus mendorong buah hatinya untuk tidak berkecil hati. Dan, menulis pun menjadi salah satu ajang pembuktian diri bagi Satrio. Karya perdananya itu sebagai bukti jika Satrio memiliki keistimewaan dengan kekuatan imajinasinya.

"Saya mau tulis sekuelnya lagi," tekad Satrio.
sumber : http://oase.kompas.com/read/2010/05/15/18090242/Satrio.Wibowo..Penulis.Muda.Istimewa-5

kasus asperger

Cerita ini disampaikan John Burnham, terapis konsultas keluarga, Klinik Parkview, Birmingham, Inggris. Burnham menangani kasus keluarga yang mempunyai anak berusia 14 tahun yang mengidap penyakit Ssindrom Asperger. Suatu penyakit yang termasuk ringan dalam kategori penyakit mental autis. Dalam percakapan terungkap bahwa keluarga itu terjebak dalampola perilaku repetitif yang dalam CMM teori disebut strange loop atau lingkaran aneh, Bila orang tua menerima kenyataan atas kelainan anakany, mereka memeperlakukan putranya dengan penuh kasih sayang, sabar dan pemaklum. Menerima perlakuan sepeti ini, perilaku anak luar biasa jadi semakin membaik dan karenanya membuat orang tuanya berfikir bahwa si anak bukan pengidap sindrom Asperger. Karena perubahan keyakinan ini orang tua anak mulai bersikap lain terhadap anak, mereka tidak begitu toleran lagi pada kelainan tingkah laku si anak. Saat terjadi perubahan ini, perilaku anak mereka kembali memburuk yang menunjukkan ciri-ciri Sindrom Asperger. Keyakinan orang tua si anakpun kembali berubah, “Ini jelas ciri Asperger”.

Burnham mencoba membantu orang tua si anak ke luar dari keterjebakan tersebut dengan cara mengajak mereka memikirkan ‘hubungan yang bagaimanakah yang Anda inginkan dengan anak Anda ?’ Jawaban pertanyaan ini terbukti efektif dibandingkan dengan membiarkan orang tua terus-menerus memikirkan kapan perilaku anaknya berubah menjadi penderita Sindrom Asperger dan kapan tidak berubah.

Seseorang –Dalam- Percakapan : Penciptaan ikatan-ikatan dalam kesatuan

1. Pengalaman seseorang dalam percakapan adalah proses sosial utama dalam kehidupan manusia.
2. Cara orang berkomunikasi sering lebih penting dibandingkan dengan isi dari apa yang mereka bicarakan itu sendiri.
3. Tindakan-tindakan dari seseorang yang berbicara dalam suatu percakapan secara reflektif direproduksi ketika interaksi berlangsung.
4. Sebagai konstruksionis sosial, para peneliti CMM memandang diri mereka sendiri sebagai partisipan yang ingin tahu dalam sebuah dunia yang pluralistis.

sumber : http://imran2001.multiply.com/journal/item/4/CMM_Theory

kasus ADHD

Agus, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun. Ia senang melakukan kegiatan olahraga, khususnya futsal. Ia memiliki kemampuan akademik yang cukup memadai. Meskipun demikian, gurunya menyatakan bahwa prestasi belajarnya sangat kurang. Gurunya meyakini bahwa Agus akan menjadi lebih baik dalam prestasi belajarnya apabila guru lebih banyak memberikan perhatian khusus kepadanya.
Di sekolah, Agus sangat jarang mengerjakan tugas dan menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya walaupun waktu yang disediakan cukup lama. Ia sering mengganggu teman-teman sekelasnya saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Ia sering meninggalkan tempat duduknya dan selalu bertanya-tanya sesuatu yang kurang bermanfaat kepada gurunya dan teman sebangkunya. Bahkan, ia sering menyakiti teman-temannya, misalnya menusuk tubuh temannya dengan ujung pensil yang telah di runcingkan. Saat melakukan futsal, ia bergerak kesana ke mari ke segala posisi dengan gerakan yang dilakukan secara berantai tanpa henti-hentinya. Namun, ia tidak segera menyelesaikan tugas sebagai seorang pemain yang sedang bermain futsal.
Di rumah, Agus termasuk anak yang sulit di atur. Rumahnya menjadi berantakan karena ia sering melakukan aktivitas memprakarsai unuk mencoba-coba membongkar dan memasang benda-benda yang ada di sekitrnya tanpa di selesaikan dengan baik. Sering kali ia membanting dan melempar benda-benda yang ada di sekitar ruangannya. Ayahnya melaporkan kepada gurunya bahwa Agus sering lupa terhadap apa yang pernah ia lakukan sehingga ayahnya frustasi oleh ulahnya dan sering membentak dengan keras saat Agus berperilaku tidak mau diam, bahkan menjadi berlebihan.
Berikut ini deskripsi kasus agus secara klinis..
Agus secara jelas merupakan anak dengan karakteristik hiperaktif yang mempunyai kesulitan pemusatan perhatian secara berlarut-larut dalam melakukan suatu tugas yang di berikan kepadanya. Akibatnya, semua tugas yang di berikan kepadanya tidak pernaj terselesaikan dan seiring tidak mendengarkan dengan baik saat seorang berbicara dengan dirinya. Agus sering menunjukkan aktivitas geraknya yang sulit di hentikan.
Anak-anak semacam Agus termasuk anak-anak hiperaktif yang berperilaku tidak mampu untuk diam sejenak dengan tenang di kursi belajarnya untuk beberapa menit (paling lama hanya lima menit) dan sering menunjukan gejala-gejala kegelisahan saat berada di ruang belajar. Dengan sikapnya tersebut menyebabkan gurunya dan teman-teman sekelasnya menjadi frustasi terhadap ulahnya. Dalam permainan futsal secara beregu, sering di lakukan pertemuan singkat saat waktu jeda dan sering kali Agus bertanya-tanya sambil berteriak-teriak terhadap pelatihnya (impulsivity).

sumber : http://4yu8.wordpress.com/2010/02/23/contoh-kasus-anak-adhd/

Awas....."Penggigit" Datang!

"BELAKANGAN ini anakku, Mario (4 tahun), suka sekali menggigit. Teman-temannya di sekolah pun sampai takut. Karena tanpa basa-basi, Mario langsung menggigit bahu atau lengan teman mainnya. Saya dan suami pun tak luput jadi korbannya.” keluh Nina, sang Mama.

Kalau bayi mau tumbuh gigi sih, wajar suka menggigit. Tapi bagaimana kalau hal itu dilakukan oleh anak seusia Mario? Yuk Moms, cari tahu penyebabnya dan bagaimana mengatasinya!

Menggigit = perilaku tidak baik

Sebaiknya orangtua dapat mengajari anak perilaku yang benar dengan memberikan pemahaman mengapa menggigit itu tidak baik dilakukan, menjadi model yang baik untuk anak, dan mengingatkan anak bagaimana berperilaku yang dapat diterima dalam berinteraksi dengan orang lain.

Jika anak sering menggigit teman sepermainan atau orang lain yang tidak dikenalnya, maka orangtua harus mengambil tindakan yang tegas dengan memberikan hukuman. Jangan berikan reaksi yang ambigu pada anak. Misalnya ketika anak menggigit, Anda hanya tertawa dan mengatakan bahwa itu biasa ia lakukan. Lalu di lain waktu Anda marah besar karena merasa bahwa dia telah mempermalukan Anda dengan tindakannya.

Bersikap konsisten akan membantu Moms dalam menerapkan batasan. Namun jika anak terus menggigit, kemungkinan dia mengalami masalah yang berbeda, bukan hanya karena kekesalan sementara.

Dalam kasus tertentu, teguran dan batasan-batasan yang tegas bisa tidak berfungsi. Oleh karena menggigit merupakan tanda kemarahan, kekesalan dan perlawanan. Cobalah untuk menemukan penyebab anak bersikap demikian. Mungkin ada tekanan dalam keluarga atau lingkungan. Kurangnya perhatian orangtua juga bisa menjadi salah satu pemicunya.

Meski hal tersebut wajar dialami oleh anak-anak, jangan dibiarkan. Dikhawatirkan perilaku tersebut berkembang menjadi kebiasaan buruk. Tentu saja akan berdampak buruk bagi si anak sendiri maupun 'korbannya'.

Tip agar anak tidak menggigit

1. Ciptakan suasana nyaman. Suasana ini akan membuat perasaan anak juga lebih nyaman dan rileks. Hal ini bisa meminimalkan timbulnya emosi negatif, sehingga anak pun tidak merasa perlu untuk menggigit

2. Jagalah kondisi psikologis anak sejak dini. Jika marah, hindari nada membentak atau merendahkan harga dirinya. Tegurlah perilakunya tanpa mencela dirinya. Selain itu, jika orangtua sedang ada masalah, sebaiknya jangan diperlihatkan di hadapan si kecil.

3. Beri perhatian cukup. Kadang si kecil menggigigit untuk mencari perhatian. Sesekali luangkan waktu untuk menemaninya bermain. Jaga jangan sampai anak kurang perhatian, lebih-lebih setelah memiliki adik lagi.

4. Perhatikan pola makannya. Anak harus dibiasakan untuk makan secara teratur, dan jaga agar jangan sampai ia kelaparan. Sebab, bisa jadi anak menggigit untuk memberi tahu bahwa ia lapar.

5. Istirahat yang cukup. Kondisi fisik yang lelah bisa memengaruhi emosi anak. Karena itu anak harus dijaga jangan sampai kelelahan.

6. Latih anak untuk berkomuniksi dan mengungkapkan emosi sejak dini, agar tidak terbiasa menggigit. Rajin membacakan buku cerita merupakan salah satu cara yang efektif untuk melatih anak berkomunikasi.

Penyebab anak suka menggigit

1. Eksperimen. Biasanya anak suka menggigit payudara atau bahu ibunya. Mungkin karena mereka ingin bereksperimen dan bereksplorasi. Jika ini terjadi, langsung katakan jangan secara serius. Jika dia masih bayi, berikan pengganti yang bisa digigit si kecil untuk belajar mengeksplorasi.

2. Frustasi. Kondisi ini terjadi karena anak tidak dapat mengatasi masalahnya, mungkin ia ingin menarik perhatian orangtuanya atau ingin memiliki mainan teman sepermainannya. Biasanya anak menggigit bukan dengan maksud menyakiti. Moms bisa melarangnya dengan bijak. Ajak ia mendekati korbannya untuk minta maaf, sambil menerangkan bahwa menggigit menyebabkan rasa sakit. Anda bisa membantunya untuk mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata.

3. Merasa terancam. Sebagian anak melakukan hal ini sebagai tindakan bela diri. Beberapa faktor yang membuatnya terancam biasanya bila ada kematian orang yang dicintai atau karena ditinggal sang ibu bekerja. Berilah perhatian yang ekstra bila anak berada dalam kondisi seperti ini, utamanya jika ancaman berasal dari dalam rumah atau sekitarnya.

4. Menunjukkan kekuatan. Anak perlu tahu bahwa dirinya bisa mengontrol terhadap lingkungannya. Bila ia merasa bahwa menggigit dapat membantunya mendapatkan "kekuasaan", maka ia akan melakukannya terus. Berilah anak perhatian dan sedikit pujian akan perilakunya yang baik. Ini akan membuatnya semakin jarang menggigit.

5. Gangguan perilaku. Anak-anak yang mengalami hambatan perkembangan, misalnya; autisme dapat menggigit orang lain, bahkan menggigit dirinya sendiri. Sebaiknya Anda konsultasikan dengan dokter.

6. Meniru orang lain. Anak akan mengikuti apa yang dilakukan oleh sekitarnya. Biasanya anak akan melihat, menghafal lalu mengikuti apa yang dilakukan orang-orang di dekatnya.
(Mom& Kiddie//ftr)
sumber : http://lifestyle.okezone.com/konsultasi/read/2010/04/30/196/328085/awas-penggigit-datang

Bocah Autis Pasif Dikurung Orangtuanya

Nahas menimpa bocah tujuh tahun, Ratu Bilqis Nurhadi Ningrat. Gara-gara autis, bocah ini terpaksa dikurung dalam kamar berjeruji besi di rumahnya di Jalan Gotong Royong, Gunung Puyuh, Kota Sukabumi, Jawa Barat.

Informasi dari keluarga Ratu Bilqis, Sabtu, menyebutkan, Ratu yang anak keempat dari pasangan purnawirawan TNI AD berpangkat kapten berinisial Nu (56) dan Nining Kusmiani (47), sering mengamuk dan merusak perabotan rumah bila tidak ditempatkan dalam kamar berjeruji itu.

Hampir setiap hari Ratu hanya bisa menangis dan melukai dirinya sendiri, kadang melukai ibunya, bila keinginannya tidak bisa dipenuhi.

"Saya membuat teralis besi di dalam kamarnya agar Ratu tidak kabur keluar rumah. Saya tidak mau Ratu mengamuk di luar rumah yang bisa merusak perabotan milik orang lain," kata ibu kandung Ratu, Nining.

Ratu mulai terlihat menderita autis pasif saat menginjak usia dua tahun, namun pada awalnya Nining menduga anaknya sakit karena tertimpa asbak besar yang jatuh tepat di kepalanya.

"Dari pertama dilahirkan hingga usianya dua tahun, kondisi Ratu normal dan bisa berbicara, namun setelah tertimpa asbak anak saya berbicaranya jadi tidak jelas dan kelakuannya menjadi hyper active," jelasnya.

Akhirnya, Nining dan suaminya membawa Ratu pergi ke dokter untuk diperiksa, tetapi dokter menilai tidak ada kelainan apa pun pada tubuh dan syaraf Ratu. "Dokter mengatakan Ratu menderita autis pasif dan hanya bisa disembuhkan dengan terapi dan pengobatan yang teratur," ujarnya.

Semenjak diketahui Ratu menderita autis, ayahnya langsung pergi meninggalkan Ratu dan diduga juga telah membawa kabur uang istrinya sebesar Rp 250 juta. "Hingga kini, saya tidak tahu keberadaan Nu yang sudah memiliki istri sebelumnya," katanya.

Selain itu, Nu juga kerap bertindak kasar kepada Nining dan anak kedua dari suami sebelumnya, Salva Bintang (13). "Saya hanya minta pertanggungjawaban ayahnya, karena kasihan Ratu tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Saya sangat butuh dana untuk kesembuhan putri saya ini," jelas Nining.

Nining yang mengaku jengkel dengan kelakukan Nu, kemudian melaporkan kejadian kekerasan yang dilakukan oleh suaminya tersebut pada 2004 lalu. Namun, kasus ini mengendap di Kejaksaan Negeri Sukabumi dan sampai sekarang kasus ini seperti dihentikan.

"Padahal berkas pengaduan saya sudah P21 dan dilimpahkan ke Kejari Sukabumi. Tetapi kenapa tidak disidangkan," katanya mempertanyakan aparat hukum. Tim Psikiater dari RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi Dr Dede Mariana yang melakukan pemeriksaan terhadap Ratu mengatakan, Ratu menderita autis pasif.
sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2010/05/01/brk,20100501-244807,id.html