Sabtu, 22 Mei 2010

kasus INDIGO

Satrio Wibowo (15) bisa dikatakan penulis muda yang super-istimewa. Novel pertamanya yang berjudul The Chronicles of Willy Flarkies diterbitkan setelah Satrio sepakat untuk mengizinkan novel perdananya yang ditulis dalam bahasa Inggris itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Satrio sama sekali tidak pernah les bahasa Inggris, bergaul dengan orang asing, ataupun hidup di luar negeri. Keluarganya pun tidak berbicara bahasa Inggris di rumah.

Tetapi, remaja yang lahir di Serang pada 24 November 1994 itu menulis novelnya dalam bahasa Inggris sebanyak 400 halaman. Novel fantasi itu dibuat Satrio saat berusia 12 tahun.

Novel The Chronicles of Willy Flarkies berkisah tentang petualangan seorang remaja yang menemukan dunia lain dengan dimensi kehidupan berbeda dan teknologi yang sangat futuristik, namun ramah lingkungan. Kisah dalam novel itu dikemas dalam berbagai sensasi rasa, mulai dari kocak, sedih, thriller, dan misteri.

Di novel yang mengisahkan remaja pria bernama Willy Flarkies yang berstatus pelajar SMP, Bowo banyak menyisipkan pesan moral dan filosofi hidup yang mengulas tentang relasi orang tua-anak, bahaya radiasi, pelestarian lingkungan, kritik pada sistem pendidikan, hingga makna persahabatan.

Satrio yang hadir dalam peringatan Hari Buku Sedunia di Pasar Festival Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, dirinya senang berimajinasi. Satrio suka membaca buku karena bisa membawa imajinasinya keluar secara bebas.

Awal mula menjadi penulis, Satrio mengatakan, karena didorong ibunya, Yeni Sahnaz. Saat kecil, Satrio sering sakit-sakitan tanpa diketahui secara pasti penyakitnya.

Ibunya berpikir jika Satrio bisa mengeluarkan perasaan atau pikirannya lewat tulisan, Satrio tidak akan sakit-sakitan. Ternyata, cara itu ampuh dan sangat disukai Satrio.

Satrio pun bersemangat untuk menulis buku yang sesuai imajinasinya. Satrio yang sejak usia 4 tahun secara menakjubkan bisa berbicara bahasa Inggris itu selalu menulis dalam bahasa Inggris. "Lebih bisa berekspresi," ujarnya singkat.

"Waktu ketemu penerbit agak kesulitan karena novelnya dalam bahasa Inggris, harus diterjemahkan lagi. Awalnya Satrio tetap bersikukuh novelnya terbit dalam bahasa Inggris. Soalnya dia mau go international. Tetapi akhirnya dia mengizinkan novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia," kisah Yeni.

Yeni mengatakan, ada beberapa bakat istimewa dalam diri anak bungsunya itu. Satrio sejak kecil mampu mengoperasikan komputer dengan baik. Dia juga jago melukis dan sebentar lagi bakal diajak berpameran. Satrio pun hobi menulis puisi.

"Semuanya otodidak, enggak ada yang ngajarin. Mungkin bakat itu karena dia indigo," kata Yeni.

Tidak mudah

Meskipun Satrio punya banyak keistimewaan yang mencengangkan, kenyataan itu tidak berarti hidup Satrio mudah. Pelajar SMPN 5 Bogor itu justru sering menghadapi masalah, mulai dari diolok-olok temannya sebagai anak aneh hingga dinilai bodoh oleh guru di sekolah.

Yeni mengisahkan, dirinya kerap dipanggil pihak sekolah sejak TK hingga SMP karena kemampuan akademik Satrio yang dinilai tidak memuaskan. Kerap kali Satrio dianggap tidak layak untuk naik kelas.

Pengalaman di sekolah yang sering kali tak menyenangkan bagi Satrio membuatnya kritis terhadap sistem pendidikan nasional. Satrio berhasil membuat testimoni mengenai pandangannya terhadap sistem pendidikan Indonesia saat didapuk menjadi salah satu pembicara. Namun, tulisannya itu batal dipresentasikan.

Dari testimoni yang diberi judul My Testimony (lagi-lagi Satrio menulis dalam bahasa Inggris), Satrio menggambarkan hidupnya sangat menyedihkan. Dia selalu dapat ranking terendah di kelasnya. Tidak seorang pun mau mengakui kelebihannya di bidang lain hanya karena dia tidak bisa mendapat nilai-nilai bagus dalam pelajaran di kelas.

Penolakan-penolakan yang berkaitan dengan bakat istimewa Satrio juga sempat membuatnya kecewa. Novelnya, yang ditulis dalam bahasa Inggris, pada awalnya tidak dilirik penerbit besar. Alasannya, penerbit tidak tertarik menerbitkan novel berbahasa Inggris di Indonesia alias bakal tidak laku di pasaran.

Satrio juga menawarkan lukisan-lukisannya pada galeri, tetapi ditolak. Kali ini alasannya Satrio terlalu muda.

"Huh, di Indonesia hanya peduli tentang pendidikan. Mereka tidak menghargai seseorang seperti saya hanya karena mereka ingin semua anak Indonesia harus bersekolah. Apalagi, ada sekolah bertaraf internasional hanya mau anak yang punya ranking bagus. Soal kreativitas diabaikan. Dalam pandangan mereka itu sudah super, tapi sebaliknya saya bilang superbodoh," ujar Satrio dengan nada tinggi.

Belajar di sekolah reguler yang dijalani Satrio dinilai menyiksa. Lazimnya sekolah secara umum, pihak sekolah menerapkan aturan-aturan yang membatasi dan ingin siswa itu sama jago di Matematika dan sains. Pengajaran guru di sekolah benar-benar tidak membuat siswa bisa menjadi diri sendiri.

"Suatu hari nanti, saya mau membuat sekolah yang 25 persen teori dan 75 persen praktik yang menghargai kreativitas," ujar Satrio mengenai impiannya soal pendidikan.

Satrio menerima kondisi dirinya sebagai anak indigo yang berpikir dengan cara yang tidak lazim. Satrio ingin seperti fisikawan kesohor Albert Einstein yang dengan percaya diri mengatakan, "It's not that I'm genius, but I stay with problems longer".

Satrio menyesalkan jika orang-orang berpikir hanya ilmuwan yang pintar dan bisa membawa perubahan dunia. Dalam pandangannya, imajinasi seorang anak juga perlu dibiarkan berkembang, terutama untuk anak indigo yang punya imajinasi tidak terbatas. Bukan justru dikatakan bodoh dan aneh.

Sang ibu Yeni memahami kehidupan Satrio yang imajinatif itu justru dipandang aneh dan dicibirkan. Tetapi, Yeni terus mendorong buah hatinya untuk tidak berkecil hati. Dan, menulis pun menjadi salah satu ajang pembuktian diri bagi Satrio. Karya perdananya itu sebagai bukti jika Satrio memiliki keistimewaan dengan kekuatan imajinasinya.

"Saya mau tulis sekuelnya lagi," tekad Satrio.
sumber : http://oase.kompas.com/read/2010/05/15/18090242/Satrio.Wibowo..Penulis.Muda.Istimewa-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar