Jumat, 16 April 2010

kasus diskalkulia

Kita sebut saja dia Pipit. Sudah duduk di kelas tiga SD, tapi gadis cilik ini belum bisa berhitung.
''Hitung-hitungan yang sederhananya saja nggak bisa-bisa,'' kata sang ibu dengan raut wajah putus asa. Gara-gara kasihan sang anak tidak naik kelas, ia memindahkannya ke sekolah dengan mutu lebih rendah. Ditambah lagi les empat hari seminggu.
Tapi, semua itu tak banyak membantu. Untungnya, di sekolah baru ini Pipit bisa naik kelas. Kendati begitu, Pipit kadung putus asa. Ia jadi tak suka sekolah. ''Dia merasa paling bodoh sedunia,'' keluh sang ibu.
Suatu hari, secara tak sengaja, ibu Pipit mendengar tentang kelainan anak, diskalkulia. Diskalkulia atau kesulitan pada kemampuan kalkulasi secara matematis adalah salah satu dari tiga gangguan kesulitan belajar yang dialami oleh anak, selain disleksia (kesulitan membaca) dan disgrafia (kesulitan menulis). Mungkinkah Pipit menyandang diskalkulia?

Sulit paham

Menurut Vitriani Sumarlis, psikolog Yayasan Pantara, diskalkulia terbagi menjadi kesulitan berhitung dan kesulitan kalkulasi. Anak yang mengalami diskalkulia tidak memahami proses matematis. ''Ini ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis, mereka sulit mendapatkan konsep perhitungan yang tepat,'' ujar dia.
Dalam contoh sehari-hari, anak mengalami kesulitan untuk menghitung uang kembalian ketika melakukan transaksi jual beli. Selain itu mereka juga mengalami kesulitan dalam proses matematis seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.
''Semua kesulitan itu dikarenakan mereka sulit untuk mengartikan angka tersebut ke dalam sebuah simbol,'' ujar Vitriani. Misalnya, bagi anak diskalkulia, angka satu secara penyebutan berbeda dengan secara simbol bahwa angka satu itu bentuk atau lambangnya adalah satu (1).
Atau apakah bagi mereka kata tambah itu berarti lambangnya plus (+), bisa jadi mereka bingung dan tertukar bahwa kata tambah itu simbol atau lambangnya adalah minus (-).
Selain simbol mereka juga sulit untuk memahami arti di dalam kata berhitung itu sendiri. ''Misalnya, kata tambah itu buat mereka belum tentu berarti bertambah banyak, tetapi juga dapat tertukar menjadi berkurang,'' ucap Vitriani.
Secara urutan angka mereka pun kerap tertukar, misalnya bagi mereka belum tentu angka enam itu sesudah angka lima. Begitu juga penempatan posisi apakah angka enam itu lebih besar dari angka 2, mereka masih sering bingung dan sulit untuk memahaminya.
Alhasil, mereka sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung. Itulah yang membuat anak diskalkulia mengalami kesulitan dalam perhitungan dan proses matematis.

Gampang 'kehilangan'
Menurut Vitriani kesulitan seperti itu juga berdampak pada hal lainnya seperti seperti disorientasi waktu dan arah. Anak diskalkulia biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
Mereka juga mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang, juga mengenai urutan tanggal, bulan serta tahun.
Anak-anak diskalkulia juga mengalami kesulitan mengikuti urutan gerakan yang berubah dengan cepat seperti senam aerobik, tari-tarian. Sumber-sumber lain menyebutkan, mereka mengalami kesulitan mengingat urutan fisi yang dibutuhkan dalam kegiatan itu.
Mereka mengalami kesulitan mengingat aturan, urutan, dan pemahaman berbagai hal teknis permainan olah raga. Mereka cepat 'kehilangan' saat mengamati pertandingan yang berlangsung cepat seperti sepak bola, sofbol, bola basket. Akibatnya, banyak di antara mereka yang menghindari kegiatan dan pertandingan yang bersifat fisik.

Bukan sekadar les
Namun, jangan salah. Anak menyandang diskalkulia memiliki tingkat kecerdasan yang normal. Bisa jadi kemampuan analogisnya atau kemampuan mengeluarkan pendapatnya angat baik, dan mereka bisa menjelaskan hubungan sebab-akibat. Mereka juga terkadang berhasil dan baik dalam pengetahuan umum dan kemampuan bahasa.
''Mereka mempunyai kelebihan lain yang sangat menonjol, malah ada yang tingkat kecerdasannya yang di atas rata-rata, mereka hanya tidak bisa berhitung,'' ujar Vitriani.
Ada banyak faktor yang diperkirakan menjadi penyebab anak diskalkulia, antara lain disebabkan pada masa kehamilan. ''Misalnya, si ibu pernah mengalami keracunan, atau kena penyakit akibat virus pada masa kehamilan di tiga bulan pertama,'' tutur Vitriani.
Salah satu penyebab lain dapat pula akibat proses kehamilan atau proses kelahirannya bayi tersebut kekurangan oksigen atau persalinannya tidak lancar. Vitriani juga menyebutkan pada beberapa kasus diskalkulia ditemukan pada anak yang mempunyai riwayat keluarga yang juga pernah menderita kesulitan belajar.
Diskalkulia biasanya baru terlihat secara nyata ketika anak tersebut masuk ke sekolah dasar. Sebab, di saat itu mereka telah mulai mendapatkan konsep dasar matematika secara akademis seperti berhitung, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Para orang tua, saran Vitriani, harus lebih waspada pada kesulitan belajar seperti diskalkulia ini. Mereka juga harus membedakan antara diskalkulia dengan kecacatan ataupun keterbelakangan. ''Karena mereka memang berbeda, mereka tidak cacat ataupun terbelakang. Mereka hanya perlu suatu konsep khusus agar dapat memahami proses matematis,'' ujar Vitriani.
Pada anak normal kesulitan menghadapi matematika bisa diselesaikan dengan les dan berbagai latihan biasa. Hal itu tak menyelesaikan masalah anak disleksia. Masalahnya karena mereka memiliki perbedaan secara organik pada tumbuh kembang otaknya. ''Jadi, organnya yaitu saraf otaknya, bukan karena dia tidak latihan matematika,'' ujar Vitriani. Penanggulangan diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya. Bentuk terapi yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh

sumber : http://forum.infoanda.com/viewtopic.php?f=3&t=4847&start=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar